Langsung ke konten utama

Reviu Novel: Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

Judul buku : Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 
Penulis       : Cho Nam-joo
Penerbit     : PT. Gramedia
Cetakan ketujuh Desember 2020

Kim Ji-Yeong bisa jadi adalah kita. Seorang wanita yang lahir tahun 1982 sesuai dengan judulnya. Ia adalah gadis yang tekun. Lulus kuliah tepat waktu dan langsung diterima kerja karena etos kerjanya. Selama bersekolah Kim Ji-Yeong dan banyak siswi lainnya mengalami perbedaan perlakuan antara siswa laki-laki karena budaya patriarki yang diyakini masyarakat sekitar. Bahkan ketika di tempat kerja banyak perlakuan berbeda yang dialami Kim Ji-Yeong antara karyawan laki-laki dan perempuan. Karyawan perempuan yang dianggap "good looking" sering ditempatkan di garda terdepan pada saat melakukan lobi dengan klien sebagai bagian dari "service" perusahaan. Selain itu Kim Ji-yeong dan banyak karyawan perempuan lainnya yang dinilai cerdas dan kinerjanya sangat mumpuni merasa kesulitan mengejar karir dengan karyawan laki-laki agar setara, bahkan dengan karyawan laki-laki yang memiliki kinerja jauh di bawahnya. Alasannya adalah perusahaan akan ragu-ragu menempatkan karyawan perempuan di posisi penting, karena nantinya wanita akan menikah, hamil dan punya anak. Hal itu dinilai merepotkan perusahaan.

Diceritakan Kim Ji-Yeong akhirnya menikah dengan kekasihnya. Tak berapa lama setelah pernikahannya, Kim Ji-Yeong hamil. Ia bahagia sekaligus takut. Kehadiran seorang anak tentu akan merubah semua rencana karir Kim Ji-Yeong yang sangat mumpuni di kantornya. Awalnya Kim Ji-Yeong bertekad akan tetap mengejar karirnya sekaligus mengasuh anaknya. Akhirnya ia dihadapkan pada kenyataan bahwa kehamilannya lemah dan Kim Ji-Yeong menyerah pada takdir. Ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Kim Ji-Yeong yang terbiasa dengan rutinitas bekerja akhirnya harus berkutat dengan pekerjaan rumah.

Kim Ji-Yeong juga harus mengalami perbedaan perlakuan menantu perempuan dengan anak laki-laki juga dialami. Selama di rumah mertua, Kim Ji-Yeong dibebani dengan semua urusan pekerjaan rumah tangga. Bahkan ketika semua orang asyik makan bersama dan mengobrol, Kim Ji-Yeong masih sibuk di dapur. Ketika suaminya hendak membantu Kim Ji-Yeong, ibu mertuanya melarang keras suaminya karena dianggap tidak pantas laki-laki sibuk di dapur.

Kim Ji-Yeong lelah. Tangannya cedera di tempat yang sama karena terus menerus menggendong bayi, ia bosan dengan rutinitas d rumah, ia juga bisa lelah dengan bayinya, lelah dengan situasi di rumah mertua, lelah dengan suaminya yang dianggapnya kurang tegas membelanya di hadapan mertuanya. Suaminya tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang makin membuatnya marah. "Tenang, aku akan selalu membantumu mengasuh bayi kita dan membantumu mengurus pekerjaan rumah," ucap suami Kim Ji-Yeong. Ia meledak dan bertingkah di luar kebiasaannya. Apa maksudnya membantu mengasuh bayi dan membantu pekerjaan rumah? Kim Ji-Yeong tidak paham. Bukankah ini bayi suaminya juga dan bukankah rumah ini juga rumah suaminya. Membantu itu jika yang diasuh adalah bayi orang lain dan yang dibereskan adalah rumah orang lain.

Kim Ji-Yeong yang masih berjuang melawan kekacauan di hati dan kepalanya berusaha mencari pekerjaan paruh waktu. Namun tidak ada lowongan untuk seorang ibu yang memiliki anak. Mereka dianggap merepotkan jika kelak harus ijin dengan alasan anak sakit. 

Sepanjang cerita dalam buku ini di akhir baru saya ketahui ternyata adalah sudut pandang psikolog tempat Kim Ji-Yeong berkonsultasi. Psikolog tersebut menyimpulkan bahwa yang dialami oleh Kim JI-Yeong bukan sekedar sindrom baby blues biasa. Kim Ji-Yeong putus asa karena potensinya yang luar biasa di dunia profesional tiba-tiba harus mandeg karena ia tidak memiliki pilihan ketika dihadapkan dengan anak. Psikolog tersebut teringat dengan istrinya yang sangat cerdas dan merupakan ahli di biang matematika. Istrinya harus menyerah karena tanggung jawab mengasuh anak. Sang psikolog bahkan sering melihat istrinya mengerjakan ratusan soal matematika rumit, katanya sebagai obat stres. 

Ada sebuah istilah yang disebut dengan "glass ceiling" atau langit-langit kaca. Sebuah penghalang tidak kentara yang dialami wanita yang menghalangi mereka untuk maju di bidang pekerjaannya. Bukan karena mereka tidak mumpuni, namun penghalang tak kentara itu lebih sering timbul karena terbatasnya pilihan bagi wanita karena tanggung jawabnya yang besar setelah menikah dan punya anak. Bukan berarti seorang ibu di rumah dan berjibaku dengan pekerjaan rumah ia tidak cakap dengan pekerjaan profesional. Ia hanya tidak memiliki pilihan.

Buku ini telah difilmkan dan jujur saya belum melihat versi filmnya. Saya masih menikmati versi bukunya untuk menyelami kekalutan dan perasaan putus asa Kim Ji-Yeong.   

                                         Poster Film Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bayangan dalam Cermin

Kulihat sesosok yang darinya tak ada yang lebih besar Selain nafsu dan serakahnya Kulihat sesosok yang darinya tak ada yang lebih miskin Selain ilmunya Kulihat sesosok yang darinya tak ada yang lebih tinggi Selain kesombongannya Kulihat sesosok yang darinya tak ada yang lebih ciut Selain nyalinya untuk bangkit Kulihat sesosok yang darinya tak ada yang lebih kuat Selain penjara pikiran akan masa lalu yang melemahkannya Kulihat sosok itu memandangku nanar saat diri ini bercermin *Rizka* 1 Ramadhan 6 Mei 2019  

MENJEMPUT HIDAYAH

  Ini lagi ngomongin diri sendiri Saya pernah merasakan Yaa Allah buka Alquran berat banget. Punya anak satu pernah gabung di grup One Day One Juz (ODOJ). Awal-awal baca lancar sekali dan laporan sehari baca satu juz. Lama-lama imanku kayak roller coaster lagi turun tebing. Akhirnya off ODOJ (jangan ditiru yaaa) Lalu merasa butuh gabung di komunitas yang mendorong baca Alquran. Akhirnya gabung lagi...tapi yang ODALF alias only a half juz a day . Ceritanya masih sama, awal-awal manis banget laporan selalu on time , lama kelamaan ngos-ngosan lagi. Alasan pembenaranku waktu itu karena ada bayi. Si bungsu baru lahir. Mbak Admin ODALFnya baik banget (atau mungkin dia tahu kapasitasku?). Aku ditawari turun kelas. Masuk di grup One Day One Ayat. Alhamdulilah masih bertahan di situ. Dari sini aku memaknai bahwa ibadah itu kudu dipaksa. Kudu ngoyo. Hidayahnya dijemput, bukan diem bae. Bisa dengan gabung di grup-grup yang saling menyemangati. Salam Sayang Coretan Rizka

SEMUA BAIK-BAIK SAJA, KAMU SUDAH MELAKUKAN YANG TERBAIK

PERTANYAAN TEMATIK KELAS TIGA SD Si Sulung seperti biasa selama belajar di rumah saja karena pandemi ini selalu ada jadwal rutin berantem (Ehhh hahaha) belajar sama mamanya. Suatu hari saat menjawab buku tematik, ada satu pertanyaan yang sedikit menggelitik. Apa sikap kita jika ada teman yang bersikap tidak mau bersyukur pada diri sendiri? Jawaban si Sulung adalah menasihatinya yaa Mah, agar selalu bersikap baik dan penuh syukur. Berhubung diriku menyesuaikan jawaban dengan pemahaman si Sulung, maka kuiyakan saja jawabannya. padahal dalam hatiku justru menolak jawaban tersebut.  Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang bersikap tidak bersyukur. Pertama bisa jadi orang tersebut adalah kategori orang yang memang tidak pernah bersyukur akan banyak hal dan kedua dia sedang tertimpa musibah yang menyebabkannya berpikir serba pesimis dan tidak percaya diri terhadap dirinya. Apabila kondisinya adalah yang kedua, tentu menasihati bukanlah hal tepat. Kelak Si Sulung akan berada pada usia s...